Peristiwa kecelakaan pesawat AirAsia
Indonesia QZ 8501 pada Minggu, 28 Desember 2014 yang lalu menjadi perhatian
publik. Peristiwa ini menjadi sorotan semua media di Indonesia, beberapa media
menjadikannya headline hingga
beberapa hari. Peristiwa ini bahkan menjadi perhatian media internasional.
Sehingga masyarakat seluruh dunia mengetahuinya. Keamanan dunia penerbangan
Indonesia pun dipertanyakan. Adapun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah
bagaimanakah keselamatan penerbangan di Indonesia? Mengapa kecelakaan tersebut
bisa terjadi?
Tentu membutuhkan penyelidikan yang
panjang guna menjawab pertanyaan di atas. Namun setidaknya ada beberapa hal
yang ingin saya bicarakan di sini. Pertama, pemahaman bahasa regulasi oleh
otoritas penerbangan sebagai pelaksana regulasi. Kedua mengenai pemahaman
masyarakat—sebagai pengguna jasa penerbangan— terhadap bahasa regulasi. Semua
itu berhubungan dengan bahasa dan keselamatan penerbangan.
Adapun terkait dengan insiden
kecelakaan pesawat AirAsia Indonesia QZ 8501, akhir-akhir ini muncul
berita-berita negatif dibalik insiden tersebut. Media masa kita memberitakan
bahwa ada beberapa regulasi penerbangan yang “ditabrak” oleh beberapa pihak
yang terkait. Mengutip dari berbagai media masa, diberitakan bahwa izin
penerbangan yang dimiliki AirAsia Indonesia QZ 8501 jurusan Surabaya-Singapura pada
hari Minggu, 28 Desember 2014 ternyata ilegal.
Berdasarkan peraturan Dirjen Perhubungan Udara nomor AU.008/30/6/DRJU.DAU.2014
tanggal 24 Oktober 2014 mengenai izin penerbangan luar negeri periode winter
2014/2015. Indonesia AirAsia jurusan Surabaya-Singapura hanya memilki izin
terbang pada hari Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu. Sedangkan peristiwa
kecelakaan itu terjadi pada hari Minggu. Tentu pesawat tidak bisa terbang jika
tidak memiliki izin. Ada apa ini? Kita patut menduga ada beberapa oknum yang
“bermain” dibelakangnya, dan kalau sudah begini kita baru sadar bahwa nyawa
manusia itu bisa dipermainkan. Ya, walaupun umur dan maut manusia hanya Tuhan
yang megetahui.
Peraturan Dirjen Perhubungan Udara
tersebut merupakan salah satu bentuk regulasi penerbangan yang harus ditaati
oleh semua pihak terkait. Regulasi tersebut merupakan salah satu cara untuk
mendisiplinkan semua pihak yang ujungnya untuk keselamatan kita semua. Regulasi
tersebut berisi serangkaian kata yang disusun menjadi kalimat-kalimat perintah,
larangan, ancaman, peraturan, dsb yang harus ditaati oleh semua pihak. Mari
kita lihat tujuh fungsi bahasa menurut Halliday yang salah satu di antaranya adalah
fungsi regulasi. Fungsi regulasi yaitu bahasa berfungsi sebagai pengawas,
pengendali, dan pengatur peristiwa.
Melek
bahasa, ya, seharusnya otoritas penerbangan (oknum) itu melek bahasa. Melek
bahasa dalam hal ini adalah memahami bahasa regulasi tersebut dan
menjalankannya, diimana sudah dijelaskan di atasa bahwa bahasa berfungsi sebagai
pengawas, pengendali, dan pengatur peristiwa.
Apakah mereka tidak memahami bahasa regulasi
tersebut. Jika demikian kredibilitas mereka sebagai pemangku otoritas
penerbangan Indonesia dipertanyakan. Peristiwa ini telah menjadi konsumsi
publik, bahkan internasional, jika demikian kepercayaan masyarakat
internasional terhadap dunia penerbangan Indonesia semakin menurun. Lalu, yang
rugi siapa, kita semua.
Jika mereka (oknum) dikatakan buta bahasa tentu
mereka tidak mau. Karena mereka berpendidikan. Lalu, kalau tidak mau dianggap
demikian mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Apakah rupiah, yang membuat
mereka menjadi buta? Sungguh bejat, menyangkut nyawa manusia masih saja bisa “main-main.”
Hal-hal demikian ini, bisa saja
tidak hanya terjadi dalam kasus ini, kemungkinan terjadi pada penerbangan
lainnya masih bisa. Tidak zuuzon dan tidak berharap yang demikian, namun kalau
sudah terjadi satu kejadian, yang lain pun patut dicurigai. Lalu, bagaimana
langkah selanjutnya?
Pemangku otoritas penerbangan di
tingkat atas harus segera bertindak, dengan cara melek bahasa regulasi.
Tegakkan regulasi yang ada, dengan demikian fungsi regulasi bahasa itu dapat
berjalan. Bahasa sebagai pengawas, pengendali, dan pengatur peristiwa. Jikalau
di tingkat atas sama saja buta bahasa, maka ya sama saja. Tapi jika melihat
perkembangan di media saat ini—menyangkut kejadian Air Asia QZ 8501—nampaknya
sudah ada tindakan yang dilakukan dari pihak otoritas yang lebih tinggi, yaitu
berupa penjatuhan sanksi kepada pihak yang terkait.
Kenyataan lain menyangkut
keselamatan penerbangan yaitu tentang pemahaman masyarakat—sebagai pengguna
jasa penerbangan— terhadap bahasa regulasi. Sangat naif apabila hanya melihat
dari sudut pandang pemangku otoritas penerbangan. Mari berkaca pada diri sendiri.
Sudahkah kita melek bahasa, dalam hal ini bahasa regulasi.
Regulasi tentang keselamatan
penerbangan sudah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Berbicara mengenai bahasa regulasi dalam undang-undang tentu membutuhkan waktu
untuk dapat memahaminya, dan sebagian masyarakat tak mengetahuinya. Tapi
lihatlah regulasi umum ketika naik pesawat. Misalnya, larangan menggunakan
telepon genggam ketika sedang dalam penerbangan, yang dapat membahayakan
penerbangan. Apa yang kemudian dilakukan masyarakat kita?
Sudah jelas ada regulasi yang
mengatur akan hal itu, masih saja banyak ditemui masyarakat yang menggunakan
telepon genggam di dalam pesawat. Apakah mereka juga tidak paham bahasa
regulasi? Tampaknya sebagian masyarakat kita ini memang masih buta bahasa,
kalau sudah ada kejadian baru mereka melek. Inikah masyarakat kita?
Beberapa hal di atas hanya contoh
saja, dan tidak menutup kemungkinan ada banyak regulasi-regulasi di bidang lain
yang juga ditabrak. Apakah mereka tidak memahaminya, apakah mereka buta bahasa
atau memang ndablek. Lalu,
bagaimanakah selanjutnya?
Adapun dengan adanya peristiwa
seperti ini, masyarakat hendaklah dapat mengambil hikmah. Gunakan sebagai momen
untuk melek bahasa (sadar bahasa). Baik yang sudah jelas maupun yang masih
tersirat. Kalau perlu menggunakan gerakan sosial atau kampanye melek bahasa
(sadar bahasa) yang ada di sekitar kita. Bukan hanya dalam dunia penerbangan.
Tetapi bisa juga dalam berbagai bidang dan berbagai tingkat kehidupan lainnya.
Karena manusia hidup itu tidak bisa lepas dari yang namanya bahasa. Bahasa
telah mengatur kehidupan kita. Mulailah dari diri kita pribadi, meleklah
terhadap bahasa yang ada disekitar kita, salah satunya terhadap bahasa
regulasi. Karena semua itu akan kembali lagi kepada kita. Manfaat akan perilaku
tersebut juga akan kita dapatkan. Tentu jika kita tetap saja cuek, acuh, bukan
tidak mungkin ada peristiwa-peristiwa lain yang lebih mengkhawatirkan yang akan
terjadi dikemudian hari. Entahlah. Tabik!
Bantul,
12 Januari 2015
No comments:
Post a Comment