Laman

Wednesday, January 14, 2015

Fungsi Regulasi Bahasa; Melek Bahasa sebagai Salah Satu Bagian Keselamatan Penerbangan



            Peristiwa kecelakaan pesawat AirAsia Indonesia QZ 8501 pada Minggu, 28 Desember 2014 yang lalu menjadi perhatian publik. Peristiwa ini menjadi sorotan semua media di Indonesia, beberapa media menjadikannya headline hingga beberapa hari. Peristiwa ini bahkan menjadi perhatian media internasional. Sehingga masyarakat seluruh dunia mengetahuinya. Keamanan dunia penerbangan Indonesia pun dipertanyakan. Adapun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimanakah keselamatan penerbangan di Indonesia? Mengapa kecelakaan tersebut bisa terjadi?
            Tentu membutuhkan penyelidikan yang panjang guna menjawab pertanyaan di atas. Namun setidaknya ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan di sini. Pertama, pemahaman bahasa regulasi oleh otoritas penerbangan sebagai pelaksana regulasi. Kedua mengenai pemahaman masyarakat—sebagai pengguna jasa penerbangan— terhadap bahasa regulasi. Semua itu berhubungan dengan bahasa dan keselamatan penerbangan.
            Adapun terkait dengan insiden kecelakaan pesawat AirAsia Indonesia QZ 8501, akhir-akhir ini muncul berita-berita negatif dibalik insiden tersebut. Media masa kita memberitakan bahwa ada beberapa regulasi penerbangan yang “ditabrak” oleh beberapa pihak yang terkait. Mengutip dari berbagai media masa, diberitakan bahwa izin penerbangan yang dimiliki AirAsia Indonesia QZ 8501 jurusan Surabaya-Singapura pada hari Minggu, 28 Desember 2014 ternyata ilegal. Berdasarkan peraturan Dirjen Perhubungan Udara nomor AU.008/30/6/DRJU.DAU.2014 tanggal 24 Oktober 2014 mengenai izin penerbangan luar negeri periode winter 2014/2015. Indonesia AirAsia jurusan Surabaya-Singapura hanya memilki izin terbang pada hari Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu. Sedangkan peristiwa kecelakaan itu terjadi pada hari Minggu. Tentu pesawat tidak bisa terbang jika tidak memiliki izin. Ada apa ini? Kita patut menduga ada beberapa oknum yang “bermain” dibelakangnya, dan kalau sudah begini kita baru sadar bahwa nyawa manusia itu bisa dipermainkan. Ya, walaupun umur dan maut manusia hanya Tuhan yang megetahui.
            Peraturan Dirjen Perhubungan Udara tersebut merupakan salah satu bentuk regulasi penerbangan yang harus ditaati oleh semua pihak terkait. Regulasi tersebut merupakan salah satu cara untuk mendisiplinkan semua pihak yang ujungnya untuk keselamatan kita semua. Regulasi tersebut berisi serangkaian kata yang disusun menjadi kalimat-kalimat perintah, larangan, ancaman, peraturan, dsb yang harus ditaati oleh semua pihak. Mari kita lihat tujuh fungsi bahasa menurut Halliday yang salah satu di antaranya adalah fungsi regulasi. Fungsi regulasi yaitu bahasa berfungsi sebagai pengawas, pengendali, dan pengatur peristiwa.
            Melek bahasa, ya, seharusnya otoritas penerbangan (oknum) itu melek bahasa. Melek bahasa dalam hal ini adalah memahami bahasa regulasi tersebut dan menjalankannya, diimana sudah dijelaskan di atasa bahwa bahasa berfungsi sebagai pengawas, pengendali, dan pengatur peristiwa.
             Apakah mereka tidak memahami bahasa regulasi tersebut. Jika demikian kredibilitas mereka sebagai pemangku otoritas penerbangan Indonesia dipertanyakan. Peristiwa ini telah menjadi konsumsi publik, bahkan internasional, jika demikian kepercayaan masyarakat internasional terhadap dunia penerbangan Indonesia semakin menurun. Lalu, yang rugi siapa, kita semua.
             Jika mereka (oknum) dikatakan buta bahasa tentu mereka tidak mau. Karena mereka berpendidikan. Lalu, kalau tidak mau dianggap demikian mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Apakah rupiah, yang membuat mereka menjadi buta? Sungguh bejat, menyangkut nyawa manusia masih saja bisa “main-main.”
            Hal-hal demikian ini, bisa saja tidak hanya terjadi dalam kasus ini, kemungkinan terjadi pada penerbangan lainnya masih bisa. Tidak zuuzon dan tidak berharap yang demikian, namun kalau sudah terjadi satu kejadian, yang lain pun patut dicurigai. Lalu, bagaimana langkah selanjutnya?
            Pemangku otoritas penerbangan di tingkat atas harus segera bertindak, dengan cara melek bahasa regulasi. Tegakkan regulasi yang ada, dengan demikian fungsi regulasi bahasa itu dapat berjalan. Bahasa sebagai pengawas, pengendali, dan pengatur peristiwa. Jikalau di tingkat atas sama saja buta bahasa, maka ya sama saja. Tapi jika melihat perkembangan di media saat ini—menyangkut kejadian Air Asia QZ 8501—nampaknya sudah ada tindakan yang dilakukan dari pihak otoritas yang lebih tinggi, yaitu berupa penjatuhan sanksi kepada pihak yang terkait.
            Kenyataan lain menyangkut keselamatan penerbangan yaitu tentang pemahaman masyarakat—sebagai pengguna jasa penerbangan— terhadap bahasa regulasi. Sangat naif apabila hanya melihat dari sudut pandang pemangku otoritas penerbangan. Mari berkaca pada diri sendiri. Sudahkah kita melek bahasa, dalam hal ini bahasa regulasi.
            Regulasi tentang keselamatan penerbangan sudah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Berbicara mengenai bahasa regulasi dalam undang-undang tentu membutuhkan waktu untuk dapat memahaminya, dan sebagian masyarakat tak mengetahuinya. Tapi lihatlah regulasi umum ketika naik pesawat. Misalnya, larangan menggunakan telepon genggam ketika sedang dalam penerbangan, yang dapat membahayakan penerbangan. Apa yang kemudian dilakukan masyarakat kita?
            Sudah jelas ada regulasi yang mengatur akan hal itu, masih saja banyak ditemui masyarakat yang menggunakan telepon genggam di dalam pesawat. Apakah mereka juga tidak paham bahasa regulasi? Tampaknya sebagian masyarakat kita ini memang masih buta bahasa, kalau sudah ada kejadian baru mereka melek. Inikah masyarakat kita?
            Beberapa hal di atas hanya contoh saja, dan tidak menutup kemungkinan ada banyak regulasi-regulasi di bidang lain yang juga ditabrak. Apakah mereka tidak memahaminya, apakah mereka buta bahasa atau memang ndablek. Lalu, bagaimanakah selanjutnya?
            Adapun dengan adanya peristiwa seperti ini, masyarakat hendaklah dapat mengambil hikmah. Gunakan sebagai momen untuk melek bahasa (sadar bahasa). Baik yang sudah jelas maupun yang masih tersirat. Kalau perlu menggunakan gerakan sosial atau kampanye melek bahasa (sadar bahasa) yang ada di sekitar kita. Bukan hanya dalam dunia penerbangan. Tetapi bisa juga dalam berbagai bidang dan berbagai tingkat kehidupan lainnya. Karena manusia hidup itu tidak bisa lepas dari yang namanya bahasa. Bahasa telah mengatur kehidupan kita. Mulailah dari diri kita pribadi, meleklah terhadap bahasa yang ada disekitar kita, salah satunya terhadap bahasa regulasi. Karena semua itu akan kembali lagi kepada kita. Manfaat akan perilaku tersebut juga akan kita dapatkan. Tentu jika kita tetap saja cuek, acuh, bukan tidak mungkin ada peristiwa-peristiwa lain yang lebih mengkhawatirkan yang akan terjadi dikemudian hari. Entahlah. Tabik!
Bantul, 12 Januari 2015

No comments:

Post a Comment