Laman

Monday, January 26, 2015

Memahami Pernyataan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno; Siapakah yang Tidak Jelas?



            Pagi hari tadi (26 Januari 2015), ketika sedang menunggu untuk bimbingan skripsi, seorang kawan melemparkan sebuah pertanyaan pada ku. Terkait kondisi memanasnya hubungan KPK dan Polri saat ini. “Menurutmu pernyataan yang disampaikan oleh Pak Menko Polhukam itu apa maknanya Yu? Coba pahami sebagai mahasiswa bahasa!” Kurang lebih begitu pertanyaan seorang kawan. Baiklah akan aku kutip dahulu pernyataan Bapak Menko Polhukam Tedjo Edi dari detik.com berikut ini.
             
  “Jangan membakar massa, mengajak rakyat, membakar rakyat. Ayo kita ini, tidak boleh seperti itu, itu suatu sikap pernyataan yang kekanak kanakan. Berdiri sendiri, kuat dia. Konstitusi yang akan dukung, bukan dukungan rakyat yang nggak jelas itu (detikcom).”

Diskusi kami pagi tadi fokus pada kalimat terakhir dari pernyataan tersebut. “Konstitusi yang akan dukung, bukan dukungan rakyat yang nggak jelas itu.” Pernyataan ini jugalah yang menjadi bahan perbincangan di berbagai media di Indonesia. Masyarakat mengkritik keras pernyataan Pak Mentri tersebut. Bahkan, tak kalah serunya di dunia maya pun menjadi obrolan yang populer diperbincangkan. Memang jika kita pahami secara umum maksud dari pernyataan tersebut tak seharusnya keluar dari seorang menteri. Sungguh sangat melukai hati dan perasaan kita sebagai rakyat Indonesia. Tapi marilah kita pahami sisi lain dari pernyataan tersebut.
            Sebagai seorang mahasiswa bahasa, kami mencoba membedah pernyataan yang disampaikan oleh Bapak Menko Polhukam tersebut berdasar kacamata ilmu linguistik (sintaksis dan semantik). Pernyataan yang menjadi kontroversial adalah kalimat “Konstitusi yang akan dukung, bukan dukungan rakyat yang nggak jelas itu.” Sekilas jika mendengar kalimat tersebut, kita bisa salah interpretasi makna dari pernyataan tersebut. Masyarakat kebanyakan memahaminya adalah “yang tidak jelas itu adalah rakyat” dan memang benar apabila pernyataan “rakyat yang nggak jelas itu” dipenggal begitu saja oleh media, tanpa mengutip keseluruhan pernyataan memang maknanya demikian. Tapi coba kita dengarkan/baca lagi pernyataan Pak Mentri tersebut. “Konstitusi yang akan dukung, bukan dukungan rakyat yang nggak jelas itu.”  Sudahkah memahaminya? Baik akan saya jelaskan.       
            Dalam pernyataan Pak Menko Polhukam tersebut ada sebuah frasa “dukungan rakyat yang nggak jelas.” Satu kesatuan frasa tersebut tidak dapat dipisahkan. Apabila itu dipenggal akan menimbulkan makna lain. Coba bandingkan dengan frasa berikut ini, “Mobil paman yang berwarna biru” apakah lantas pamannya yang berwarna biru? Tidak, yang berwarna biru adalah mobil paman. Coba bandingkan lagi dengan frasa berikut ini “Pukulan Toni yang keras itu”, apakah yang keras pukulannya atau Toninya? Tentu yang keras adalah pukulannya. Pun demikian juga dengan pernyataan Pak Mentri tersebut. Apabila media ingin mengutip harusnya utuh “dukungan rakyat yang nggak jelas”, agar tidak salah interpretasi makna dan justru menambah gaduh suasana yang sedang memanas seperti saat ini. Apabila dikutip utuh seperti itu maksud sesungguhnya dari pernyataan Pak Mentri tersebut adalah dukungannya yang tidak jelas, bukan rakyatnya yang tidak jelas. Sudah paham kan?
            Bukannya apa-apa tetapi sebagai mahasiswa bahasa saya hanya ingin melihat dan membantu meluruskan terkait pernyataan Pak Mentri yang menjadi polemik itu. Mungkin untuk lebih jelasnya lagi bisa ditanyakan langsung kepada yang bersangkutan, sesungguhnya apa sih Pak yang Anda maksud? Tetapi tetap menjadi catatan, bahwa seorang pejabat negara apalagi sekelas menteri harus hati-hati dan perlu pertimbangan untuk mengeluarkan sebuah statment seperti ini, agar tidak menjadi polemik dan justru menambah keruh keadaan yang sedang panas seperti saat ini. Apakah beliau perlu seorang penasehat di bidang bahasa? Kami mahasiswa lulusan bahasa siap membantu, apalagi kalau diangkat menjadi staf mentri di bidang bahasa kan keren hehehe. Tabik!
Bantul, 26 Januari 2015.

Wednesday, January 14, 2015

Fungsi Regulasi Bahasa; Melek Bahasa sebagai Salah Satu Bagian Keselamatan Penerbangan



            Peristiwa kecelakaan pesawat AirAsia Indonesia QZ 8501 pada Minggu, 28 Desember 2014 yang lalu menjadi perhatian publik. Peristiwa ini menjadi sorotan semua media di Indonesia, beberapa media menjadikannya headline hingga beberapa hari. Peristiwa ini bahkan menjadi perhatian media internasional. Sehingga masyarakat seluruh dunia mengetahuinya. Keamanan dunia penerbangan Indonesia pun dipertanyakan. Adapun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimanakah keselamatan penerbangan di Indonesia? Mengapa kecelakaan tersebut bisa terjadi?
            Tentu membutuhkan penyelidikan yang panjang guna menjawab pertanyaan di atas. Namun setidaknya ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan di sini. Pertama, pemahaman bahasa regulasi oleh otoritas penerbangan sebagai pelaksana regulasi. Kedua mengenai pemahaman masyarakat—sebagai pengguna jasa penerbangan— terhadap bahasa regulasi. Semua itu berhubungan dengan bahasa dan keselamatan penerbangan.
            Adapun terkait dengan insiden kecelakaan pesawat AirAsia Indonesia QZ 8501, akhir-akhir ini muncul berita-berita negatif dibalik insiden tersebut. Media masa kita memberitakan bahwa ada beberapa regulasi penerbangan yang “ditabrak” oleh beberapa pihak yang terkait. Mengutip dari berbagai media masa, diberitakan bahwa izin penerbangan yang dimiliki AirAsia Indonesia QZ 8501 jurusan Surabaya-Singapura pada hari Minggu, 28 Desember 2014 ternyata ilegal. Berdasarkan peraturan Dirjen Perhubungan Udara nomor AU.008/30/6/DRJU.DAU.2014 tanggal 24 Oktober 2014 mengenai izin penerbangan luar negeri periode winter 2014/2015. Indonesia AirAsia jurusan Surabaya-Singapura hanya memilki izin terbang pada hari Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu. Sedangkan peristiwa kecelakaan itu terjadi pada hari Minggu. Tentu pesawat tidak bisa terbang jika tidak memiliki izin. Ada apa ini? Kita patut menduga ada beberapa oknum yang “bermain” dibelakangnya, dan kalau sudah begini kita baru sadar bahwa nyawa manusia itu bisa dipermainkan. Ya, walaupun umur dan maut manusia hanya Tuhan yang megetahui.
            Peraturan Dirjen Perhubungan Udara tersebut merupakan salah satu bentuk regulasi penerbangan yang harus ditaati oleh semua pihak terkait. Regulasi tersebut merupakan salah satu cara untuk mendisiplinkan semua pihak yang ujungnya untuk keselamatan kita semua. Regulasi tersebut berisi serangkaian kata yang disusun menjadi kalimat-kalimat perintah, larangan, ancaman, peraturan, dsb yang harus ditaati oleh semua pihak. Mari kita lihat tujuh fungsi bahasa menurut Halliday yang salah satu di antaranya adalah fungsi regulasi. Fungsi regulasi yaitu bahasa berfungsi sebagai pengawas, pengendali, dan pengatur peristiwa.
            Melek bahasa, ya, seharusnya otoritas penerbangan (oknum) itu melek bahasa. Melek bahasa dalam hal ini adalah memahami bahasa regulasi tersebut dan menjalankannya, diimana sudah dijelaskan di atasa bahwa bahasa berfungsi sebagai pengawas, pengendali, dan pengatur peristiwa.
             Apakah mereka tidak memahami bahasa regulasi tersebut. Jika demikian kredibilitas mereka sebagai pemangku otoritas penerbangan Indonesia dipertanyakan. Peristiwa ini telah menjadi konsumsi publik, bahkan internasional, jika demikian kepercayaan masyarakat internasional terhadap dunia penerbangan Indonesia semakin menurun. Lalu, yang rugi siapa, kita semua.
             Jika mereka (oknum) dikatakan buta bahasa tentu mereka tidak mau. Karena mereka berpendidikan. Lalu, kalau tidak mau dianggap demikian mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Apakah rupiah, yang membuat mereka menjadi buta? Sungguh bejat, menyangkut nyawa manusia masih saja bisa “main-main.”
            Hal-hal demikian ini, bisa saja tidak hanya terjadi dalam kasus ini, kemungkinan terjadi pada penerbangan lainnya masih bisa. Tidak zuuzon dan tidak berharap yang demikian, namun kalau sudah terjadi satu kejadian, yang lain pun patut dicurigai. Lalu, bagaimana langkah selanjutnya?
            Pemangku otoritas penerbangan di tingkat atas harus segera bertindak, dengan cara melek bahasa regulasi. Tegakkan regulasi yang ada, dengan demikian fungsi regulasi bahasa itu dapat berjalan. Bahasa sebagai pengawas, pengendali, dan pengatur peristiwa. Jikalau di tingkat atas sama saja buta bahasa, maka ya sama saja. Tapi jika melihat perkembangan di media saat ini—menyangkut kejadian Air Asia QZ 8501—nampaknya sudah ada tindakan yang dilakukan dari pihak otoritas yang lebih tinggi, yaitu berupa penjatuhan sanksi kepada pihak yang terkait.
            Kenyataan lain menyangkut keselamatan penerbangan yaitu tentang pemahaman masyarakat—sebagai pengguna jasa penerbangan— terhadap bahasa regulasi. Sangat naif apabila hanya melihat dari sudut pandang pemangku otoritas penerbangan. Mari berkaca pada diri sendiri. Sudahkah kita melek bahasa, dalam hal ini bahasa regulasi.
            Regulasi tentang keselamatan penerbangan sudah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Berbicara mengenai bahasa regulasi dalam undang-undang tentu membutuhkan waktu untuk dapat memahaminya, dan sebagian masyarakat tak mengetahuinya. Tapi lihatlah regulasi umum ketika naik pesawat. Misalnya, larangan menggunakan telepon genggam ketika sedang dalam penerbangan, yang dapat membahayakan penerbangan. Apa yang kemudian dilakukan masyarakat kita?
            Sudah jelas ada regulasi yang mengatur akan hal itu, masih saja banyak ditemui masyarakat yang menggunakan telepon genggam di dalam pesawat. Apakah mereka juga tidak paham bahasa regulasi? Tampaknya sebagian masyarakat kita ini memang masih buta bahasa, kalau sudah ada kejadian baru mereka melek. Inikah masyarakat kita?
            Beberapa hal di atas hanya contoh saja, dan tidak menutup kemungkinan ada banyak regulasi-regulasi di bidang lain yang juga ditabrak. Apakah mereka tidak memahaminya, apakah mereka buta bahasa atau memang ndablek. Lalu, bagaimanakah selanjutnya?
            Adapun dengan adanya peristiwa seperti ini, masyarakat hendaklah dapat mengambil hikmah. Gunakan sebagai momen untuk melek bahasa (sadar bahasa). Baik yang sudah jelas maupun yang masih tersirat. Kalau perlu menggunakan gerakan sosial atau kampanye melek bahasa (sadar bahasa) yang ada di sekitar kita. Bukan hanya dalam dunia penerbangan. Tetapi bisa juga dalam berbagai bidang dan berbagai tingkat kehidupan lainnya. Karena manusia hidup itu tidak bisa lepas dari yang namanya bahasa. Bahasa telah mengatur kehidupan kita. Mulailah dari diri kita pribadi, meleklah terhadap bahasa yang ada disekitar kita, salah satunya terhadap bahasa regulasi. Karena semua itu akan kembali lagi kepada kita. Manfaat akan perilaku tersebut juga akan kita dapatkan. Tentu jika kita tetap saja cuek, acuh, bukan tidak mungkin ada peristiwa-peristiwa lain yang lebih mengkhawatirkan yang akan terjadi dikemudian hari. Entahlah. Tabik!
Bantul, 12 Januari 2015