Jadi ceritanya begini;
“Iman
itu gurunya penyair Jogja.” kata Prof. Minto. Tepatnya seminggu yang lalu,
Senin 1 April 2013 pernyataan itu dilontarkan oleh Prof. Minto, ketika aku dan
teman-teman berkunjung ke kantornya, di Lab Karawitan FBS UNY.
Kami
berkunjung ke sana untuk berkonsultasi seputar penyair-penyair Indonesia,
berhubung sebentar lagi Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia akan melaksanakan
agenda rutin memperingati Haul Chairil Anwar. Prof. Minto dirasa sangat pantas
untuk diajak berkonsultasi karena selain dosen, beliau juga seorang budayawan.
Mantan Dekan FBS itu sangat welcome
untuk diajak berdiskusi.
Saat
kami berkunjung ke ruangan beliau, kami sudah membawa beberapa nama yang
rencananya akan diundang dalam acara Haul tanggal 28 April 2013 mendatang.
Salah satunya adalah Iman Budi Santosa. Dengan gaya khasnya beliau bercerita
panjang lebar mengenai Pak Iman, tentang kepenyairanya, dan tentang
prekembangan sastra Indonesia masa kini, khususnya tentang perpuisian di Jogja.
Akhirnya kami sepakat untuk mengundang Pak Iman sebagai pembicara di acara Haul
Chairil Anwar. Berkat bantuan Prof. Minto juga, membangun komunikasi dengan Pak
Iman jadi lebih mudah.
Ow
iya, sebelumnya akanku ceritakan terlebih dahulu bahwa di acara ini aku
diberikan amanah oleh teman-teman untuk menjadi koor sie acara. Entah apa yang
menjadi dasar itu, tapi aku akan berusaha bekerja semaksimal mungkin untuk
menyukseskan acara ini. Finaly, hasil obrolan kami dengan Prof. Minto itu kami
bawa ke rapat besar, dan alhamdullilah disetujui oleh teman-teman panitia
lainnya.
Balik
lagi ke Pak Iman, untuk menindaklanjutinya, kami memutuskan untuk berkunjung ke
kediaman beliau. Hari Sabtu, 6 April 2013 kami berenam, Aku, Anto, Felesia,
Nuri, Aulia dan tentunya ketua panitia Hanif, sepakat datang ke rumah beliau di
daerah Dipowinatan, utara Jokteng timur Jl Brigjen Katamso.
Kediaman
beliau sangat sedrhana, di halamanya ada sebuah pohon sawo besar yang mungkin
usianya sudah puluhan tahun. Disambut dengan hangat, kami langsung dipersilakan
duduk. Pak Iman yang seusia “kakek” kami ini sangat nyambung untuk diajak berdiskusi seputar sastra dan puisi pada
khususnya. Dilihat dari gaya berbicaranya menunjukan orangnya sangat sederhana .
Dari
beliau kami mendapat beberapa ilmu, ia bertanya mengapa Chairil? Ia memberi
jawaban sendiri—dengan gaya santai sambil menghisap rokoknya—intinya;
seharusnya kita ini tidak boleh terfokus pada penyair-penyair besar saja,
justru dari yang kecil itulah nantinya yang besar itu akan ada. Ya, diakui
memang Chairil itu merupakan tonggak dimulainya kebangkitan puisi modern
Indonesia, tapi kita juga harus melihat orang-orang disekitarnya.
Kemudian
ia alihkan pada konteks zaman sekarang, dimana di Jogja ini banyak sekali
penyair-penyair yang juga patut diapresiasi. Seperti halnya rumah Joglo yang memiliki
4 tiang, jika salah satu tiangnya hilang, apa yang akan terjadi? Itu sama
halnya dengan perkembangan puisi modern Indonesia saat ini.
Kira-kira
begitulah beliau bercerita, hal utama yang kami lihat dari Pak Iman Budi
Santosa ini, beliau seorang penyair yang sederhana, beliau sangat nyambung, ramah, dan antusias untuk
diajak berdiskusi dengan kami yang mahasiswa ini. Malah kami banyak mendapat
ilmu dan pengalaman baru dari beliau. Semoga untuk diskusi pada malam puncak
Haul Chairil mendatang, Pak Iman bisa banyak berbagi pengalaman tentang
kehidupanya, tentang pengetahuanya terhadap kepenyairan Chairil dan juga
kepenyairnya. Serta tentang perkembangan puisi modern Indonesia saat ini, dan
yang kami tunggu adalah perfom beliau saat berpuisi.
Karena
langit makin mendung, dan keburu hujan, kami akhirnya pamit untuk pulang. Salam
dan senyum manis tergambar di wajahnya.
Bantul, 6 April 2013, 23:24.
wessah langsung ditulis, aku udah punya foto pak iman loh :p
ReplyDeletehehe, iya kemarin kelupaan mau foto bersama ya, T_T
ReplyDeletedapat dari mana kamu Fe?
dari googling yu, ak penasaran masa ga ada, jadi ak coba cari2 hehe
ReplyDelete