Sesungguhanya
tulisan ini erat kaitanya dengan peristiwa-peristiwa yang kualami akhir-akhir
ini. Jadi ceritanya begini;
Pertama kuliah kewirausahaan, ya
pastinya teman-teman tau apa saja sih yang diberikan saat kuliah kewirausahaan
itu? Tentunya ya seputar dunia usaha dan menjadi seorang pengusaha. Aku sangat
senang sekali ada mata kuliah semacam ini, rasanya di kelas itu seperti sedang
mengikuti seminar motivasi, AMT, dan semacamnya. Bagaimana tidak, setiap kuliah,
dosenku Ibu Ari Kus selalu memberikan materi motivasi. Ya, karena memang
materi-materi kewirausahaan ya seputar itu, bagaimana menjadi seorang
pengusaha.
Di sini aku banyak belajar tentang
dunia usaha dan menjadi pengusaha yang sesungguhnya itu. Kami diberi tugas
untuk mewawancarai seorang pengusaha atau bahasa kerenya itu enterpreneur. Tidak main-main wawancara
ini, karena kami harus mencari enterpreneur
yang sudah memiliki omset diatas 50 juta rupiah per bulan. Pikir kami di awal,
sangat susah menemukan mereka, tetapi praktiknya di lapangan sangat banyak enterpreneur yang demikian. Justru sudah
melebihi 50 juta, hal ini bisa dilihat dari presentasi-presentasi yang dilakukan
teman-taman, mulai dari pengusha makanan, jasa, barang rumah tangga dll, termasuk
kelompoku. Kelompoku mewawancari seorang enterpreneur
yang memiliki usaha di bidang alat-alat laboraturium, namanya Pak Bayu. Kami banyak
mengambil ilmu dari beberapa enterpreneur
ini, untuk menjadi pengusaha yang maju itu intinya kita harus berani mencoba, bisa
survive, dan berkembang.
Lanjut pada peristiwa kedua, yaitu
sebuah talkshow di Metro TV. Kebetulan atau entah bagaimana, talkshow ini
membahas tentang Gerakan Kewirausahaan Nasinoal. Saya lupa siapa narasumbernya,
yang jelas beliau dari Kementrian Koprasi dan UKM. Satu lagi narasumbernya
adalah seorang pemuda pemenang GKN tahun 2012 lalu. Dari talkshow ini aku
mendapatkan satu lagi prinsip berwirausaha, bahwa seorang pengusaha layak
disebut pengusaha itu kalau dia bukan hanya menghidupi dirinya sendiri, tetapi
juga orang lain.
Peristiwa ketiga, di sebuah toko
alat tulis. Mahasiswa UNY, Sanata Darma dan sekitarnya pasti akrab dengan toko
alat tulis yang satu ini. Tepatnya di daerah Jl. Gejayan, timur kampus UNY.
Saat itu saya membeli sebuah time organization atau bahasa kerenya,
papan tulis dari kertas, hehehe. Jika teman-teman memasuki toko ini, akan
terlihat banyak sekali pegawai yang dimilikinya, untuk ukuran sebuah toko alat
tulis. Mereka memiliki tugasnya masing-masing ada yang bolak-balik mengantar barang, ada yang mencatat di nota, dsb.
Uniknya jika teman-teman berbelanja
di sini, teman-teman akan disuguhkan dengan pelayanan gaya klasik. Dimana
setiap barang yang ingin kita beli musti dicatat dulu dalam nota yang diberikan
oleh karyawan di sana. Selanjutnya dengan nota itulah kita membayar ke kasir. Setelah
membayar, kita masih belum mendapatkan barang yang kita beli tadi, masih ada
langkah berikutnya, yaitu mengambil barang yang kita beli dengan nota itu di
bagian tersendiri, baru lah kita bisa membawa pulang barang tersebut. Rumit ya
teman-teman.
Namun, dari peristiwa itu ada hal
penting yang perlu dicatat. Di zaman sekarang ini, sudah jarang ditemui
toko-toko semacam ini. Ada sih, paling tidak banyak, dan mungkin sudah
dimodifikasi.
Jika sang pemilik mau, mungkin
banyaknya karyawan tadi bisa diganti dengan cukup 2 orang kasir, dan beberapa
SPG atau SPB, dibuat konsep seperti mini market. Bayangkan apa yang terjadi
dengan karyawan lainya. Karyawan yang sebanyak itu, (kurang lebih 30-an orang)
akan makan apa nanti jika hal itu dilakukan.
Itulah enterpreneur yang sesungguhnya, ia tidak hanya menghidupi dirinya sendiri,
tetapi juga orang lain. Untuk itu, jika teman-teman semua ingin berwirausaha,
ingatlah prinsip ini.
Bantul, 07 April
2013, 00:43.
No comments:
Post a Comment