Sepulang kuliah
tadi—di jalan dari UNY menuju Bantul—aku mendapatkan pelajaran berharga dari sahabatku.
Bahwa jujur itu:
Jujur! Menjadi dilematis ketika
tulisan ini membicarakan tentang hal ini. Padahal diri sendiri saja terkadang mengacuhkan
dan mengesampingkannya.
Jujur dalam KBBI memiliki beberapa
arti, antara lain: (1). lurus hati tidak berbohong (misal dengan berkata apa
adanya); (2). tidak curang (misal dalam permainan, dengan mengikuti aturan main
yang berlaku); (3). tulus, ikhlas. Jika mengalami proses afiksasi ke-an, dari
jujur menjadi kejujuran, kata ini memiliki arti sifat (keadaan) jujur,
ketulusan (hati), kelurusan (hati).
Sejatinya jujur ini adalah sifat
manusia yang dapat dilihat dari perilaku dan perbuatanya pada realitas
kehidupan sehari-hari. Jika dikaitkan pada konteks Id, Ego, dan Superego nya Freud. Jujur ini merupakan
hasil kerja dari superego. Di mana Superego, mengontrol perilaku yang boleh
dilakuakn dan mana yang tidak boleh dilakukan. Menurut Walgito via Wiyatmi (2011:
6) Superego berkembang pada permulaan
masa kanak-kanak sewaktu peraturan-peraturan diberikan orang tua dengan
menggunkan reward dan punishment. Perbuatan anak semula
dikontrol oleh orang tua, tetapi setelah superego
terbentuk maka kontrol itu dilakuakn dari superegonya sendiri.
Kembali lagi pada pemahaman tentang konteks
jujur ini. Pernahkah kalian mengalaminya? Suatu ketika, kalian dihadapkan pada persoalan
yang sangat dilematis mengenai kejujuran. Kalian akan dihadapakn pada persoalan
pilih (1) jujur atau (2) tidak jujur. Mankah yang berterima dan manakah yang
tidak? Manakah yang menguntungkan dan manakah yang tidak menguntungkan? Pertanyaan semacam
ini akan terus muncul dalam diri, hingga sebuah keputusan diambil.
Selanjutnya, apakah gejolak
pertanyaan semacam ini akan hilang? Jika kita memilih nomor satu tentu
jawabanya iya. Mengapa? Karena hal inilah yang berterima di hati kita, serta
berterima dengan nilai moral yang ada di masyarakat (superego bekerja dengan semestinya).
Jika pilihan tidak jujur yang
diambil, gejolak itu akan terus ada dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru,
serta menimbulkan penolakan dari hati kita. Karena, jika sejak dulu kita biasa
melakukan kejujuran, pada suatu kitika memilih tidak jujur. Maka, superego kita akan terus bekerja untuk
mengontrol dan membimbing agar kembali pada pilihan yang semestinya, yaitu; jujur! Jika hal ini terus saja diulangi, dan tidak dapat mengubah keputusan, maka, akan berimbas pada penyesalan dikemudian hari.
Misalnya dalam sebuah contoh; kasus dilematis
tentang kejujuran ini ada pada setiap seluk beluk kehidupan di masyarakat. Mulai dari
permasalahan sensitif tentang cinta hingga permasalahan kompleks mengenai
korupsi. Dan kita seolah mendapatkan tamparan dari orang-orang kecil misalnya; keterbatasan
ekonomi tak membuat Ahmad (17), seorang pemulung di Denpasar, Bali, tergiur
dengan barang yang bukan miliknya. Remaja asal Desa Kesambi Rampak, Kapongan,
Situbondo, Jawa Timur, ini beberapa hari lalu mengembalikan tiga kotak berisi
perhiasan emas senilai Rp 300 juta yang ditemukan di bak truk sampah kepada
pemiliknya.klik disini kompas.com
Dari peristiwa di atas marilah merenung dan introspeksi diri!
Well, keputusan jujur dan tidak
jujur itu ada pada diri kita sendiri. Tinggal dipilih, pilih yang menentramkan
hati atau yang menghantui diri? Jika tidak mau “dihantui”, jujurlah mulai
sekarang! Karena jujur itu ...... (silakan isi sendiri). Kalau aku, jujur itu barokah!
Nuwun...
Bantul 8
April 2013, 22:28.
No comments:
Post a Comment