Laman

Monday, April 8, 2013

Jujur itu ....


Sepulang kuliah tadi—di jalan dari UNY menuju Bantul—aku mendapatkan pelajaran berharga dari sahabatku. Bahwa jujur itu:

      Jujur! Menjadi dilematis ketika tulisan ini membicarakan tentang hal ini. Padahal diri sendiri saja terkadang mengacuhkan dan mengesampingkannya.
      Jujur dalam KBBI memiliki beberapa arti, antara lain: (1). lurus hati tidak berbohong (misal dengan berkata apa adanya); (2). tidak curang (misal dalam permainan, dengan mengikuti aturan main yang berlaku); (3). tulus, ikhlas. Jika mengalami proses afiksasi ke-an, dari jujur menjadi kejujuran, kata ini memiliki arti sifat (keadaan) jujur, ketulusan (hati), kelurusan (hati).
        Sejatinya jujur ini adalah sifat manusia yang dapat dilihat dari perilaku dan perbuatanya pada realitas kehidupan sehari-hari. Jika dikaitkan pada konteks Id, Ego, dan Superego nya Freud. Jujur ini merupakan hasil kerja dari superego. Di mana Superego, mengontrol perilaku yang boleh dilakuakn dan mana yang tidak boleh dilakukan. Menurut Walgito via Wiyatmi (2011: 6) Superego berkembang pada permulaan masa kanak-kanak sewaktu peraturan-peraturan diberikan orang tua dengan menggunkan reward dan punishment. Perbuatan anak semula dikontrol oleh orang tua, tetapi setelah superego terbentuk maka kontrol itu dilakuakn dari superegonya sendiri.
     Kembali lagi pada pemahaman tentang konteks jujur ini. Pernahkah kalian mengalaminya? Suatu ketika, kalian dihadapkan pada persoalan yang sangat dilematis mengenai kejujuran. Kalian akan dihadapakn pada persoalan pilih (1) jujur atau (2) tidak jujur. Mankah yang berterima dan manakah yang tidak? Manakah yang menguntungkan dan manakah yang tidak menguntungkan? Pertanyaan semacam ini akan terus muncul dalam diri, hingga sebuah keputusan diambil.
       Selanjutnya, apakah gejolak pertanyaan semacam ini akan hilang? Jika kita memilih nomor satu tentu jawabanya iya. Mengapa? Karena hal inilah yang berterima di hati kita, serta berterima dengan nilai moral yang ada di masyarakat (superego bekerja dengan semestinya).
   Jika pilihan tidak jujur yang diambil, gejolak itu akan terus ada dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru, serta menimbulkan penolakan dari hati kita. Karena, jika sejak dulu kita biasa melakukan kejujuran, pada suatu kitika memilih tidak jujur. Maka, superego kita akan terus bekerja untuk mengontrol dan membimbing agar kembali pada pilihan yang semestinya, yaitu; jujur! Jika hal ini terus saja diulangi, dan tidak dapat mengubah keputusan, maka, akan berimbas pada penyesalan dikemudian hari.

  
      Misalnya dalam sebuah contoh; kasus dilematis tentang kejujuran ini ada pada setiap seluk beluk kehidupan di masyarakat. Mulai dari permasalahan sensitif tentang cinta hingga permasalahan kompleks mengenai korupsi. Dan kita seolah mendapatkan tamparan dari orang-orang kecil misalnya; keterbatasan ekonomi tak membuat Ahmad (17), seorang pemulung di Denpasar, Bali, tergiur dengan barang yang bukan miliknya. Remaja asal Desa Kesambi Rampak, Kapongan, Situbondo, Jawa Timur, ini beberapa hari lalu mengembalikan tiga kotak berisi perhiasan emas senilai Rp 300 juta yang ditemukan di bak truk sampah kepada pemiliknya.klik disini kompas.com 

Dari peristiwa di atas marilah merenung dan introspeksi diri!

            Well, keputusan jujur dan tidak jujur itu ada pada diri kita sendiri. Tinggal dipilih, pilih yang menentramkan hati atau yang menghantui diri? Jika tidak mau “dihantui”, jujurlah mulai sekarang! Karena jujur itu ...... (silakan isi sendiri). Kalau aku, jujur itu barokah!
Nuwun...

Bantul 8 April 2013, 22:28.

No comments:

Post a Comment