Salah
seorang pengarang yang muncul dan
mencoba mengeksistensikan dirinya di dunia sastra Indonesia melalui media massa
dan ajang perlombaan-perlombaan adalah Puitri Hati Ningsih. Perempuan kelahiran
Solo, 11 September ini memiliki banyak karya yang dimuat di berbagai media massa
serta terhimpun dalam beberapa antologi bersama. Puitri merupakan pegiat sastra
di Pawon Sastra Solo. Ia pernah memenangkan lomba penulisan puisi di tabloid Nyata dan penulisan cerpen yang
diselenggarakan oleh INTI, serta
pemenang I Sayembara Cerpen Femina 2010
Jakarta.
Salah satu karyanya adalah cerpen Oseng-oseng Mercon yang terhimpun dalam
antologi cerpen Paras Perempuan Cadas.
Antologi ini diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Tengah sebagai seri kesepuluh
antologi cerpen “Joglo” (seri dokumentasi sastra berupa himpunan cerita pendek
yang diterbitkan oleh Divisi Sastra Taman Budaya Jawa Tengah).
Melihat perkembangan sastra
Indonesia saat ini, tentu tidak bisa lepas dari kemunculan pengarang-pengarang
di Indonesia melalui berbagai media massa yang ada. Mereka dengan karyanya
masing-masing memiliki perjalanan kreatif yang berliku dan panjang. Proses
kreatif ini akan terlihat pada capaian nilai estetik dari karya yang dihasilkan,
semua ini akan bermuara pada eksistensi mereka dalam dunia sastra Indonesia, termasuk
Puitri Hati Ningsih ini.
Salah satu cerpen Puitri Hati
Ningsih adalah Oseng-oseng Mercon.
Cerpen ini menjadi menarik untuk diperbincangkan karena di dalamnya bercerita
tentang kritik sosial dan ekonomi yang disampaikan secara jelas oleh pengarang
tanpa berbelit-belit, selain itu, warna lokal dan dialek khas Jawa menjadi
bumbu manis cerpen ini. Walaupun gaya semacam ini juga banyak dijumpai pada karya-karya
lain namun dalam cerpen ini kita dapat melihat kritik sosial terhadap penguasa
dari obrolan khas di “warung makan”. Biasanya di “warung makan” ini masyarakat
akan menanggalkan status sosial mereka. Mereka akan mulai memperbincangkan
berbagai macam usrusan; mulai dari masalah-masalah sederhana yang ada dalam
keluarga hingga masalah hukum, sosial, ekonomi, politik yang terjadi di negeri
ini. Mereka yang mau berbaur tanpa mempedulikan status sosial ini justru
pemikir-pemikir ulung di negeri ini, beda dengan pemikir-pemikir “berdasi” yang
sukanya korupsi.
Cerpen ini berkisah tentang
pencurian lombok yang menyebabkan kemurungan pada hati penjual dan penikmat
oseng-oseng mercon. Mbah Panggah pemilik warung tidak bisa menjajakan
oseng-oseng merconya karena persediaan lombok miliknya telah dicuri, sedangkan
dipasaran harga satu kilo lombok setara dengan harga emas muda.
Kisah ini dimulai dengan obrolan
antara Narti dan Mbah Panggah yang membahas topik melambungnya harga lombok.
Dengan setting di warung oseng-oseng mercon mereka mulai memperbincangkan
masalah tersebut. Bahkan warung oseng-oseng mercon yang sudah kawentar itu kedatangan tamu istimewa
dari Jakarta, yakni wartawan dari beberapa stasiun tv nasional. Mereka tak lain
dan tak bukan datang untuk mencari berita seputar kenaikan harga lombok dan
dampaknya terhadap warung oseng-oseng mercon milik Mbah Panggah.
Setelah kedatangan wartawan
tersebut, Mbah Panggah dan warungnya semakin terkenal. Walaupun harga lombok
naik, namun Mbah Panggah tidak menaikan harga oseng-oseng mercon serta tidak
mengurangi resep bumbunya. Itu dikarenakan Mbah Panggah memiliki persediaan
lombok yang cukup di kulkasnya serta memiliki kebun lombok kecil yang merupakan
ketidaksengajaan dari tukhulan lombok
dipekaranganya.
Justru dari tersiarnya kabar
tersebut—dimana lombok mulai mahal di pasaran—mengundang pencuri untuk
menggasak lombok-lomboknya. Hal inilah yang menyebabkan kesedihan Mbah Panggah
karena tidak bisa menjajakan oseng-oseng mercon pada pelangganya di hari itu. Dari
peristiwa itu Mbah Panggah tetap bersyukur karena obat milik anaknya Narti yang
dititipkan dikulkasnya tidak ikut dicuri.
Tokoh seperti Mbah Panggah dan Narti
merupakan gambaran dari kondisi masyrakat yang sesungguhnya, sekaligus
merupakan kritik terhadap penguasa. Mereka tidak dapat berbuat banyak untuk
mencegah naiknya harga kebutuhan pokok. Mereka hanya bisa mengatasi untuk
jangka pendeknya saja akibat kenaikan tersebut, itu pun mereka masih diusili
oleh ulah pencuri yang tak punya hati. Peran pemerintah sebagai pemegang
kekuasan tak terlihat dalam menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok.
Haraga-haraga barang telah dikuasai oleh pasar, dan tidak dapat dikontrol oleh
pemerintah, pada akhirnya negeri ini akan kehilngan kedaulatanya dibidang
ekonomi.
Dalam cerpen Oseng-oseng Mercon ini, pengarang menyampaikan kritik secara jelas terhadap penguasa melalui tragedi
di warung oseng-oseng mercon. Sang pemilik warung mencoba bertahan dalam
kenaikan harga kebutuhan pokok yang terjadi. Dalam suasana yang serba susah ini
hadirlah tokoh antagonis yang menambah himpitan yang dialami pemilik warung.
Mungkin Puitri ingin mewarnai cerpen
ini dengan sedikit humor sebagai bumbu-bumbu dalam kritiknya terhadap kenaiakn
harga lombok, namun humor ini hanya sebatas permukaan saja. Misalnya saja pada
peristiwa dimana Mbah Panggah yang didatangi wartawan dari Jakarta dan wajahnya
mulai mengiasi televisi, dengan kepolosanya sebagai orang Jawa yang tak bisa
berbahasa Indonesia Mbah Panggah hanya bisa tertawa kecil melihat wajahnya di
televisi dan ia malu melihat dirinya sendiri.
Pada akhirnya dari cerpen ini kita
dapat melihat tujuan akhir dari sebuah karya sastra itu diciptakan. Disamping
sebagai sarana hiburan bagi pembaca namun juga memuat pesan-pesan
moral, sosial, ekonomi, hukum, dll. yang tersirat maupun tersurat untuk
kehidupan kita yang lebih baik lagi.
No comments:
Post a Comment