Laman

Friday, April 5, 2013

Tragedi di Warung Oseng-oseng Mercon; Sebuah Kritik Untuk Penguasa


       Salah seorang pengarang yang muncul dan mencoba mengeksistensikan dirinya di dunia sastra Indonesia melalui media massa dan ajang perlombaan-perlombaan adalah Puitri Hati Ningsih. Perempuan kelahiran Solo, 11 September ini memiliki banyak karya yang dimuat di berbagai media massa serta terhimpun dalam beberapa antologi bersama. Puitri merupakan pegiat sastra di Pawon Sastra Solo. Ia pernah memenangkan lomba penulisan puisi di tabloid Nyata dan penulisan cerpen yang diselenggarakan oleh INTI, serta pemenang I Sayembara Cerpen Femina 2010 Jakarta.
      Salah satu karyanya adalah cerpen Oseng-oseng Mercon yang terhimpun dalam antologi cerpen Paras Perempuan Cadas. Antologi ini diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Tengah sebagai seri kesepuluh antologi cerpen “Joglo” (seri dokumentasi sastra berupa himpunan cerita pendek yang diterbitkan oleh Divisi Sastra Taman Budaya Jawa Tengah).
       Melihat perkembangan sastra Indonesia saat ini, tentu tidak bisa lepas dari kemunculan pengarang-pengarang di Indonesia melalui berbagai media massa yang ada. Mereka dengan karyanya masing-masing memiliki perjalanan kreatif yang berliku dan panjang. Proses kreatif ini akan terlihat pada capaian nilai estetik dari karya yang dihasilkan, semua ini akan bermuara pada eksistensi mereka dalam dunia sastra Indonesia, termasuk Puitri Hati Ningsih ini.
       Salah satu cerpen Puitri Hati Ningsih adalah Oseng-oseng Mercon. Cerpen ini menjadi menarik untuk diperbincangkan karena di dalamnya bercerita tentang kritik sosial dan ekonomi yang disampaikan secara jelas oleh pengarang tanpa berbelit-belit, selain itu, warna lokal dan dialek khas Jawa menjadi bumbu manis cerpen ini. Walaupun gaya semacam ini juga banyak dijumpai pada karya-karya lain namun dalam cerpen ini kita dapat melihat kritik sosial terhadap penguasa dari obrolan khas di “warung makan”. Biasanya di “warung makan” ini masyarakat akan menanggalkan status sosial mereka. Mereka akan mulai memperbincangkan berbagai macam usrusan; mulai dari masalah-masalah sederhana yang ada dalam keluarga hingga masalah hukum, sosial, ekonomi, politik yang terjadi di negeri ini. Mereka yang mau berbaur tanpa mempedulikan status sosial ini justru pemikir-pemikir ulung di negeri ini, beda dengan pemikir-pemikir “berdasi” yang sukanya korupsi.
      Cerpen ini berkisah tentang pencurian lombok yang menyebabkan kemurungan pada hati penjual dan penikmat oseng-oseng mercon. Mbah Panggah pemilik warung tidak bisa menjajakan oseng-oseng merconya karena persediaan lombok miliknya telah dicuri, sedangkan dipasaran harga satu kilo lombok setara dengan harga emas muda.
         Kisah ini dimulai dengan obrolan antara Narti dan Mbah Panggah yang membahas topik melambungnya harga lombok. Dengan setting di warung oseng-oseng mercon mereka mulai memperbincangkan masalah tersebut. Bahkan warung oseng-oseng mercon yang sudah kawentar itu kedatangan tamu istimewa dari Jakarta, yakni wartawan dari beberapa stasiun tv nasional. Mereka tak lain dan tak bukan datang untuk mencari berita seputar kenaikan harga lombok dan dampaknya terhadap warung oseng-oseng mercon milik Mbah Panggah.
      Setelah kedatangan wartawan tersebut, Mbah Panggah dan warungnya semakin terkenal. Walaupun harga lombok naik, namun Mbah Panggah tidak menaikan harga oseng-oseng mercon serta tidak mengurangi resep bumbunya. Itu dikarenakan Mbah Panggah memiliki persediaan lombok yang cukup di kulkasnya serta memiliki kebun lombok kecil yang merupakan ketidaksengajaan dari tukhulan lombok dipekaranganya.
    Justru dari tersiarnya kabar tersebut—dimana lombok mulai mahal di pasaran—mengundang pencuri untuk menggasak lombok-lomboknya. Hal inilah yang menyebabkan kesedihan Mbah Panggah karena tidak bisa menjajakan oseng-oseng mercon pada pelangganya di hari itu. Dari peristiwa itu Mbah Panggah tetap bersyukur karena obat milik anaknya Narti yang dititipkan dikulkasnya tidak ikut dicuri.
            Tokoh seperti Mbah Panggah dan Narti merupakan gambaran dari kondisi masyrakat yang sesungguhnya, sekaligus merupakan kritik terhadap penguasa. Mereka tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah naiknya harga kebutuhan pokok. Mereka hanya bisa mengatasi untuk jangka pendeknya saja akibat kenaikan tersebut, itu pun mereka masih diusili oleh ulah pencuri yang tak punya hati. Peran pemerintah sebagai pemegang kekuasan tak terlihat dalam menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok. Haraga-haraga barang telah dikuasai oleh pasar, dan tidak dapat dikontrol oleh pemerintah, pada akhirnya negeri ini akan kehilngan kedaulatanya dibidang ekonomi.
          Dalam cerpen Oseng-oseng Mercon ini, pengarang menyampaikan kritik  secara jelas terhadap penguasa melalui tragedi di warung oseng-oseng mercon. Sang pemilik warung mencoba bertahan dalam kenaikan harga kebutuhan pokok yang terjadi. Dalam suasana yang serba susah ini hadirlah tokoh antagonis yang menambah himpitan yang dialami pemilik warung.
         Mungkin Puitri ingin mewarnai cerpen ini dengan sedikit humor sebagai bumbu-bumbu dalam kritiknya terhadap kenaiakn harga lombok, namun humor ini hanya sebatas permukaan saja. Misalnya saja pada peristiwa dimana Mbah Panggah yang didatangi wartawan dari Jakarta dan wajahnya mulai mengiasi televisi, dengan kepolosanya sebagai orang Jawa yang tak bisa berbahasa Indonesia Mbah Panggah hanya bisa tertawa kecil melihat wajahnya di televisi dan ia malu melihat dirinya sendiri.
           Pada akhirnya dari cerpen ini kita dapat melihat tujuan akhir dari sebuah karya sastra itu diciptakan. Disamping sebagai sarana hiburan bagi pembaca namun juga  memuat  pesan-pesan moral, sosial, ekonomi, hukum, dll. yang tersirat maupun tersurat untuk kehidupan kita yang lebih baik lagi.

No comments:

Post a Comment